Search
Search
Close this search box.
WhatsApp Image 2025-02-14 at 11.50.08
Kepastian Pendidikan; Ironi Perubahan

Oleh: Nuri Yulhani Alviah

“Bu kenapa saya harus menguasai semua mata pelajaran sedangkan Ibu juga ketika menjadi guru hanya menguasai mata pelajaran bahasa Indonesia saja?”

Pertanyaan tersebut tidak hanya saya dapatkan dari satu atau dua siswa saja, bahkan beberapa guru juga mendapatkan pernyataan demikian. Hal itu membuat mereka cenderung pasif dalam pembelajaran yang tidak digandrungi. Sejenak saya merenungi, apakah siswa kita telah kehilangan orientasi dalam belajar?

Hakikat Merdeka Belajar adalah memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih pelajaran yang diminati, berekspresi, dan berpikir bebas. Namun yang perlu dikritisi adalah batasan dari kebabasan itu sendiri, karena tidak ada kebebasan yang tanpa batas. Lalu apa sebenarnya yang menjadi masalah mendasar pendidikan kita? Pertanyaan ini rasanya tidak pernah kita jawab berdasarkan rasionalitas keadaan siswa di sekolah padahal jawaban itu seharusnya menjadi pusat dari segala gagasan kita dalam merumuskan kebijakan perbaikan mutu pendidikan. Perubahan kurikulum atau kebijakan pendidikan saat ini lebih berorientasi dalam mengatasi gejala (simptom) ketimbang menyentuh akar permasalahannya. Menurut Priyatma yang saya kutip dari kompas.com bahwa perbaikan kebijakan pendidikan saat ini lebih ditinjau dari lemahnya kompetensi lulusan, rendahnya produktivitas dan kualitas karya ilmiah, serta maraknya perilaku tak terpuji semisal korupsi oleh kalangan terdidik. Dengan dasar hal tersebut saya mengkritisi bahwa kekurangan pendidikan kita saat ini adalah membatasi kebebasan yang memerdekakan itu sendiri. Mungkin ini akan menjadi hal kontra oleh beberapa pihak karena gaungan kurikulum merdeka yang begitu memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya dengan anggapan bahwa hal tersebut mampu memberikan pemerataan dalam memberikan pendidikan bagi seluruh peserta didik. Hal itu karena setelah kita memberikan pelayanan yang berdiferensiasi, menyesuaikan pembelajaran sesuai minatnya, tetapi mereka tetap tidak memenuhi kriteria minimal yang diharapkan. Akibatnya kita sebagai guru masih memberikan batasan ketuntasan pada pencapaian peserta didik dan ironisnya kita masih harus menuntaskan dan memberikan nilai fantastis sehingga justru hal itu memberikan stigma pada diri siswa “Ah, nilai berapapun kita akan tetap naik kok”. Mungkin tanpa sadar perilaku-perilaku kita yang memberikan nilai fantastis ini justru malah mencederai kualitas pendidikan itu sendiri.

Di sisi lain, standarisasi nilai fantastis yang diberikan guru dalam menuntaskan peserta didik yang tidak memenuhi kriteria kelayakan justru menimbulkan polemik lainnya. Hal tersebut seperti maraknya peserta didik SMP/SMA yang tidak menguasai kemampuan dasar literasi dan numerasi padahal seharusnya hal itu ia kuasai ketika jenjang SD.

Mari kita resapi, apakah perubahan kurikulum yang seolah mengalpakan kualitas pendidikan ini juga lantas mengubah sistem-sistem yang lain di negeri ini?

Hal ini yang membelenggu dan menjadi kecemasan tersendiri bagi diri saya karena sampai saat ini test masuk sekolah, perguruan tinggi, bahkan perekrutan ASN masih memberikan standarisasi atau nilai ambang batas yang ditetapkan sedangkan peserta didik saat ini tidak terbiasa dengan hal tersebut. Mereka hanya terbiasa dengan pemberian nilai fantastis dari guru dengan usaha yang cenderung minim tetapi hal itu mengantarkan dirinya pada label kelayakan sebagai seorang siswa (lulus dan naik kelas).

Di tahun 2025, dunia pendidikan menghadapi ironi yang semakin mendalam. Kebijakan pemerintah yang ada kini hanya menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pendukung, bukan sebagai sektor yang harus diperhatikan secara serius. Akibatnya, kualitas pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama pemerintah, yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang unggul. Hal ini yang menjadi ketakutan terbesar bagi dunia pendidikan yang semakin problematik dari sisi peserta didik maupun guru.

Pada akhirnya esensi pendidikan adalah perbaikan, perbaikan tersebut tentunya jangan sampai mengklamufase seorang guru menjadi bak malaikat tapi justru menjerumuskan. Perubahan itu pasti dan kita sebagai guru adalah penggeraknya. Maka sudah sewajarnya setiap perubahan yang akan kita lakukan memberikan batasan yang realistis, karena menurut Priyatma para guru saat ini tidak berani berpikir dan bertindak mandiri karena takut dan lebih aman jika patuh mengikuti petunjuk atasan. Profesi keguruan perlahan tergerus hingga berubah menjadi sekadar aparatur yang bekerja atas dasar perintah dan petunjuk serta bagaimana aturan dari menteri pendidikan. Otonomi luas yang diberikan kurikulum merdeka itu bukan hanya sesuai dengan realitas keberagaman keadaan sekolah di Indonesia, melainkan juga menjadi wujud konkret semboyan Kemendikbud ”Tut Wuri Handayani”. Tentu harapannya adalah “Tut wuri Handayani” yang mendorong untuk peserta didik kita memahami orientasi mengapa mereka belajar bukan membebaskan dan memberikan kepercayaan “seminim apapun kamu belajar, kamu akan lulus”.

Nyatanya perubahan kebijakan pendidikan yang terjadi menunjukkan adanya ironi dalam upaya pencapaian kepastian kualitas pendidikan. Meskipun diharapkan untuk memperbaiki sistem pendidikan, kebijakan tersebut cenderung mengabaikan peningkatan kualitas yang esensial.  Dampaknya, sistem pendidikan semakin terdistorsi, dan tujuan pendidikan yang ideal menjadi sulit tercapai, menciptakan ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan di Indonesia.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait